Social Items

Jasa Ekspedisi
Jakarta - Shelter Rohingya, Bukan Puncak tapi Awal Kehidupan BaruL hokseumawe. Mempersembahkan shelter bagi pencari suaka asal Myanmar yang memasuki kawasan Aceh, bukan sekadar bicara hal-hal fisik mencakup sekian jiwa. “Dari sisi jumlah jiwa pun, sangat kecil dibanding yang mendarat di negara lain. 

Tapi ini contoh monumental bagaimana civil society Indonesia, berpadu dengan pemerintah, menunjukkan kemanusiaannya,” ungkap M. Insan Nurrohman, Vice President ACT Foundation, di area pembangunan Integrated Community Shelter (ICS) untuk Rohingya di Gampong Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara, 6 Juni 2015.

ICS, konsep standar shelter yang dirancang ACT, mencakup layanan fisik dan non fisik. ACT membangun 120 unit, lebih dari cukup untuk 332 jiwa ada di Kabupaten Aceh Utara. “Kami bangun di sini, karena Pemerintah Aceh Utara lah yang pertama menerima pencari suaka, disusul wilayah lain. Dan Pemerintah Aceh Utara sigap menyiapkan lahan dan mengkoordinasikan semua elemen untuk bergegas membantu secara konkret sampai pendirian shelter dan program-program lanjutan,” urai Insan.
 


Wujud bangunan fisik berupa hunian nyaman – meski disebut ‘sementara’ – harus memenuhi standar kesehatan, ada taman, fasilitas ibadah, MCK, bahkan layanan kesehatan, pembinaan mental-spiritual dan pendidikan. “Kami sebut terpadu, karena layanan ini kami pusatkan, tidak terpencar-pencar. Semua terintegrasi sebagai sebuah upaya memanusiakan pencari suaka,” jelas M. Insan.

Dalam 10 tahun terakhir – sejak berdirinya - di antara berbagai program, ACT telah membangun shelter sejenis sedikitnya di 10 tempat di dalam maupun luar negeri. “Antara lain di Padang, Jogja, Pangandaran, Banjarnegara, bahkan di Sitwee, Rakhine State, negara bagian di Myanmar di mana etnis Rohingya hidup dalam keterbatasan dan terisolasi,” jelas Insan.

ICS untuk Rohingya di Gampong Blang Adoe Aceh Utara ini, bukan semata-mata soal layanan fisik dan psikis Rohingya yang jumlah hanya beberapa ratus jiwa. “Ini bermakna strategis. Pertama, secara eksternal ini berperan mengedukasi dunia tentang bagaimana civil society Indonesia menolong sesama manusia dan negara memberi ruang masyarakat mengekspresikan kemanusiaannya.

Arena yang kami gunakan, tidak menyewa tidak membeli tapi dukungan konkret Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Bupati juga menegaskan, setiap elemen masyarakat maupun dunia yang ingin membantu di sisi prasarana fisik, dipersilakan berkoordinasi dengan ACT. Bupati menegaskan hal itu, karena ACT menyodorkan konsep jangka panjang yang komprehensif,” urai Insan. Karena itulah, kata Insan, ACT menyiapkan diri menerima sinergi demi mempercepat dan melengkapi ICS yang sedang dikebut dengan harapan bisa dimanfaatkan saat Ramadhan nanti.

Kedua, lanjur Insan, secara internal ACT menjadikan kawasan ICS sebagai area unjuk partisipasi antar-warga. “Kami libatkan masyarakat Gampong Blang Adoe. Kaum perempuannya membersihkan semak-semak saat menyiapkan pembangunan, kaum lelakinya menjaga secara berganrtian siang-malam, karena di area ini banyak barang berharga seperti genset, kipas angin dengan tabung air yang kami pakai untuk mengurangi panasnya udara saat para tukang bekerja, peralatan kerja, bahan-bahan bangunan dan sebagainya. Kami juga disokong anggota Brimob terdekat. Semua menunjukkan kontribusi kemanusiaannya,” urai Insan.

Ketiga, kata Insan, keberadaan ICS menjadi media mengampanyekan kerja nyata diplomasi kemanusiaan. “Di sini, ada bukti nyata Rohingya disantuni dan dimanusiakan. Di sini, kita bisa menyebarkan semangat kemanusiaan ke seluruh dunia. Rohingya tidak butuh hanya shelter setelah kita beri pangan dan sandang. 

Mereka perlu pengakuan, negara, hak menjadi warga sebuah bangsa. ACT sejak 2012 sudah terlibat membantu etnis Rohingya, bahkan sampai membangun shelter di Myanmar, menolong eksodus Rohingya di Bangladesh di Kamp Cox Bazar dan Kutapalong. Tim kami yang baru pulang dari Rakhine State mengabarkan, Rohingya di Myanmar makin terisolasi, hidup tapi tak bisa  beraktivitas sewajarnya warga sebuah negara. Mereka hidup dalam pagar kawat berduri, di wilayah yang tertutup untuk orang asing. Perjuangan masih panjang untuk memulihkan hak-hak Rohingya. Shelter ini, awal kehidupan bagi Rohingya setelah bertahun-tahun kehilangan kebebasannya. Shelter bukan puncak kerja kemanusiaan kita, baru awal menata kehidupan Rohingya,” kata Insan.

Mendaratnya Rohingya di Aceh, sudah lewat sebulan. Sangat tak elok, menerima tamu-tamu yang dizalimi ini hanya dengan memberi mereka makanan, pakaian, layanan kesehatan, tapi hidup di penampungan alakadarnya. “Shelter, memanusiakan mereka. Orang beriman, akan serius menolong sesama manusia, karena Yang Maha Kuasa kuga tidak pernah setengah-setengah memberi kita kehidupan. Kebaikan bangsa ini untuk umat manusia, akan berbalik menjadi kebaikan bagi bangsa dan negeri ini; begitu pula ketidak-baikan terhadap sesama manusia hanya menuai ketidakbaikan di kemudian hari,” kata Insan. (HN)

Shelter Rohingya, Bukan Puncak tapi Awal Kehidupan Baru

New Jakarta Forum
Jakarta - Shelter Rohingya, Bukan Puncak tapi Awal Kehidupan BaruL hokseumawe. Mempersembahkan shelter bagi pencari suaka asal Myanmar yang memasuki kawasan Aceh, bukan sekadar bicara hal-hal fisik mencakup sekian jiwa. “Dari sisi jumlah jiwa pun, sangat kecil dibanding yang mendarat di negara lain. 

Tapi ini contoh monumental bagaimana civil society Indonesia, berpadu dengan pemerintah, menunjukkan kemanusiaannya,” ungkap M. Insan Nurrohman, Vice President ACT Foundation, di area pembangunan Integrated Community Shelter (ICS) untuk Rohingya di Gampong Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara, 6 Juni 2015.

ICS, konsep standar shelter yang dirancang ACT, mencakup layanan fisik dan non fisik. ACT membangun 120 unit, lebih dari cukup untuk 332 jiwa ada di Kabupaten Aceh Utara. “Kami bangun di sini, karena Pemerintah Aceh Utara lah yang pertama menerima pencari suaka, disusul wilayah lain. Dan Pemerintah Aceh Utara sigap menyiapkan lahan dan mengkoordinasikan semua elemen untuk bergegas membantu secara konkret sampai pendirian shelter dan program-program lanjutan,” urai Insan.
 


Wujud bangunan fisik berupa hunian nyaman – meski disebut ‘sementara’ – harus memenuhi standar kesehatan, ada taman, fasilitas ibadah, MCK, bahkan layanan kesehatan, pembinaan mental-spiritual dan pendidikan. “Kami sebut terpadu, karena layanan ini kami pusatkan, tidak terpencar-pencar. Semua terintegrasi sebagai sebuah upaya memanusiakan pencari suaka,” jelas M. Insan.

Dalam 10 tahun terakhir – sejak berdirinya - di antara berbagai program, ACT telah membangun shelter sejenis sedikitnya di 10 tempat di dalam maupun luar negeri. “Antara lain di Padang, Jogja, Pangandaran, Banjarnegara, bahkan di Sitwee, Rakhine State, negara bagian di Myanmar di mana etnis Rohingya hidup dalam keterbatasan dan terisolasi,” jelas Insan.

ICS untuk Rohingya di Gampong Blang Adoe Aceh Utara ini, bukan semata-mata soal layanan fisik dan psikis Rohingya yang jumlah hanya beberapa ratus jiwa. “Ini bermakna strategis. Pertama, secara eksternal ini berperan mengedukasi dunia tentang bagaimana civil society Indonesia menolong sesama manusia dan negara memberi ruang masyarakat mengekspresikan kemanusiaannya.

Arena yang kami gunakan, tidak menyewa tidak membeli tapi dukungan konkret Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Bupati juga menegaskan, setiap elemen masyarakat maupun dunia yang ingin membantu di sisi prasarana fisik, dipersilakan berkoordinasi dengan ACT. Bupati menegaskan hal itu, karena ACT menyodorkan konsep jangka panjang yang komprehensif,” urai Insan. Karena itulah, kata Insan, ACT menyiapkan diri menerima sinergi demi mempercepat dan melengkapi ICS yang sedang dikebut dengan harapan bisa dimanfaatkan saat Ramadhan nanti.

Kedua, lanjur Insan, secara internal ACT menjadikan kawasan ICS sebagai area unjuk partisipasi antar-warga. “Kami libatkan masyarakat Gampong Blang Adoe. Kaum perempuannya membersihkan semak-semak saat menyiapkan pembangunan, kaum lelakinya menjaga secara berganrtian siang-malam, karena di area ini banyak barang berharga seperti genset, kipas angin dengan tabung air yang kami pakai untuk mengurangi panasnya udara saat para tukang bekerja, peralatan kerja, bahan-bahan bangunan dan sebagainya. Kami juga disokong anggota Brimob terdekat. Semua menunjukkan kontribusi kemanusiaannya,” urai Insan.

Ketiga, kata Insan, keberadaan ICS menjadi media mengampanyekan kerja nyata diplomasi kemanusiaan. “Di sini, ada bukti nyata Rohingya disantuni dan dimanusiakan. Di sini, kita bisa menyebarkan semangat kemanusiaan ke seluruh dunia. Rohingya tidak butuh hanya shelter setelah kita beri pangan dan sandang. 

Mereka perlu pengakuan, negara, hak menjadi warga sebuah bangsa. ACT sejak 2012 sudah terlibat membantu etnis Rohingya, bahkan sampai membangun shelter di Myanmar, menolong eksodus Rohingya di Bangladesh di Kamp Cox Bazar dan Kutapalong. Tim kami yang baru pulang dari Rakhine State mengabarkan, Rohingya di Myanmar makin terisolasi, hidup tapi tak bisa  beraktivitas sewajarnya warga sebuah negara. Mereka hidup dalam pagar kawat berduri, di wilayah yang tertutup untuk orang asing. Perjuangan masih panjang untuk memulihkan hak-hak Rohingya. Shelter ini, awal kehidupan bagi Rohingya setelah bertahun-tahun kehilangan kebebasannya. Shelter bukan puncak kerja kemanusiaan kita, baru awal menata kehidupan Rohingya,” kata Insan.

Mendaratnya Rohingya di Aceh, sudah lewat sebulan. Sangat tak elok, menerima tamu-tamu yang dizalimi ini hanya dengan memberi mereka makanan, pakaian, layanan kesehatan, tapi hidup di penampungan alakadarnya. “Shelter, memanusiakan mereka. Orang beriman, akan serius menolong sesama manusia, karena Yang Maha Kuasa kuga tidak pernah setengah-setengah memberi kita kehidupan. Kebaikan bangsa ini untuk umat manusia, akan berbalik menjadi kebaikan bagi bangsa dan negeri ini; begitu pula ketidak-baikan terhadap sesama manusia hanya menuai ketidakbaikan di kemudian hari,” kata Insan. (HN)

Konsultan HRD
Konsultan SDM
Top Negin Saffron
Shelter Rohingya, Bukan Puncak tapi Awal Kehidupan Baru